Mengenal 7 upacara adat papua, ekosistem budaya yang sampai sekarang masih lestari. Mulai dari ritual sukacita, dukacita sampai tradisi ekstrem masyarakat pedalaman.
Papua adalah sebuah provinsi terbesar diantara jajaran provinsi yang ada di Indonesia. Papua dijuluki sebagai “Tanah Mutiara Hitam“.
Daerah papua memiliki kekayaan alam yang masih murni. Dengan kebudayaan yang masih lestari, dan berbagai suku bangsa yang beragam serta memiliki ciri khas masing-masing, membuat tanah papua ini menjadi salah satu bahan cerita yang begitu menarik.
Salah satu contohnya dalam hal kebudayaan, seperti diketahui, masyarakat dari berbagai suku di papua ini memiliki banyak sekali tradisi yang berkaitan erat dengan kepercayaan, ritual dan upacara adat papua yang masih dijalankan sampai sekarang.
Baik itu dari yang bernuansa sukacita, dukacita, perkawinan bahkan sampai ritual ekstrem masyarakat pedalaman papua. Tapi disini kami akan mengulik sedikit mengenai upacara adat papua. Berikut 7 upacara adat papua yang khas, unik dan menarik untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia.
1. Pesta Bakar Batu
Pesta bakar batu ini adalah sebuah tradisi penting di tanah papua yang berupa ritual memasak bersama warga satu kampung. Tradisi ini memiliki sebutan bakar batu karena prosesinya benar-benar membakar batu hingga panas membara, yang kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak.
Bagi masyarakat papua, tradisi bakar batu dilakukan untuk berbagai tujuan misalnya seperti, ungkapan rasa syukur, ajang silaturahmi dengan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan, sampai untuk mengumpulkan prajurit untuk berberang.
Pesta bakar batu biasanya dilakukan oleh berbagai masyarakat dilakukan oleh berbagai masyarakat suku pedalaman atau pegunungan dengan istilah yang berbeda-beda seperti Gapiia di Paniai, Kit Oba Isogoa di Wamena, atau Barapen di Jayawijawa.
Tradisi bakar batu ini juga dilakukan di berbagai daerah lain seperti, Lembah Baliem, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Dekai, Yahukimo, dan daerah lainnya.
2. Upacara Wor
Suku biak adalah salah satu suku adat yang tersebar di berbagai daerah di papua. Masyarakat suku biak ini dikenal masih memegang tradisi adat istiadat yang cukup kuat sebagai upaya mempertahankan warisan nenek moyang secara turun menurun.
Dan salah satu tradisi yang masih sangat melekat pada kepercayaan tradisional orang baik adalah wor, wor disini diartikan sebagai upacara adat yang berhubungan dengan kehidupan religi suku biak. Segala aspek kehidupan sosial masyarakat suku biak sangat sering diwarnai dengan wor atau upacara adat.
Hal ini ditunjukkan dari falsafah hidup orang Biak, “Nggo wor baindo na nggo mar,” yang artinya “Tanpa upacara adat, kami akan mati”. Maka dari itu, upacara adat begitu pentingnya bagi masyarakat Suku Biak. Salah satunya adalah upacara yang diselenggarakan pada setiap peralihan peran sosial seseorang.
Wor adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh keluarga batih (inti) mereka. Wor ini adalah upacara untuk memohon, mengundang, atau bisa diartikan meminta perlindungan dari penguasa alam semesta dalam kepercayaan masyarakat baik.
Wor ini wajib diselenggarakan oleh setiap keluarga inti dengan tujuan memohon penguasa semesta agar melindungi anak-anak mereka. Maka dari itu wor dilakukan dalam lingkungan hidup orang baik, yaitu untuk mengiringi pertumbuhan anak baik mulai dari kandungan, lahir hingga masa tua serta kematian.
3. Upacara Perkawinan Suku Biak
Masyarakat suku biak memiliki dua cara untuk melamar seorang calon pengantin. Yang pertama adalah sanepen atau perjodohan, yaitu dimana proses lamaran yang dilakukan oleh kedua pihak orang tua untuk calon pengantin sejak masih anak-anak.
Yang kedua adalah Fakfuken yaitu sebuah proses lamaran yang dilakukan oleh calon pengantin setelah menginjak usia di atas 15 tahun. Dari pihak laki-laki akan mendatangi pihak perempuan dalam proses lamaran secara resmi.
Di dalam proses pinangan tersebut dari pihak laki-laki akan membawakan kaken atau kalung/gelang yang terbuat dari manik-manik sebagai simbol perkenalan. Jika lamaran tersebut diterima, maka pihak perempuan akan memberikan kaken sebagai simbol penerimaan.
Acara puncak dari upacara ini yaitu dilakukan dirumah dari pihak laki-laki. Calon pengantin perempuan akan dibawa kerumah dari pihak laki-laki setelah dirias sedemikian rupa sesuai dengan adat yang berlaku.
4. Tradisi iki palek
Iki palek ini adalah sebuah tradisi berkabung masyarakat suku dani dengan memotong satu ruas jari sebagai ungkapan kesedihan atas meninggalnya orang terdekat yang disayangi. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh kaum wanita saja, meskipun kadang ada juga dari laki-laki yang melakukannya sebagai bentuk kesedihan.
Untuk proses memotong jari tersebut, mereka biasanya akan menggunakan kapak atau pisau tradisional dan bahkan tidak jarang juga mereka mengigit jari mereka sendiri hingga putus.
Bagi masyarakat suku dani proses pemotongan jari ini adalah sebagi simbol dari rasa kepedihan yang sangat luar biasa. Karena menangis saja tidak cukup untuk mengungkapkan rasa kesedihan akibat meniggalnya seseorang yang disayang.
5. Tradisi nasu palek
Tradisi ini masih ada kaitannya dengan cara berkabung masyarakat suku dani. Selain iki palek, masyarakat suku dani juga biasa melakukan tradisi nasu palek untuk mengungkapkan kesedihan hati akibat ditinggal orang tersayang.
Nasu palek ini merupakan sebuah tradisi berkabung masyarakat suku dani dengan cara memotong sedikit daun telinga sebagai bentuk penghormatan dan belawungkawa atas anggota keluarga yang meninggal dunia.
Dan tradisi yang satu ini biasanya dilakukan oleh kaum pria, meskipun juga kadang ada juga wanita yang melakukannya. Tapi khusus untuk kaum wanita, mereka harus terlebih dahulu melakukan proses iki palek sebelum melakukan nasu palek.
6. Tradisi snap mor
Snap mor adalah sebuah tadisi masyarakat papua untuk menangkap ikan bersama-sama menggunakan jaring atau kalawai (sebuah senjata sejenis tombak khas papua) yang biasa dilakukan oleh masyarakat suku biak.
Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh masyarakat di daerah laut yang dangkal pada saatg air surut yang ditandai dengan angin timur dan curah hujan yang dominan.
Untuk kata snap mor ini berasal dari bahasa biak. Snap ini adalah koral atau batu kecil yang terhampar di muara sungai, kali atau kanal. Sedangkan untuk mor sendiri adalah timbunan laut atau ikan sebagai butir-butir rejeki.
Untuk waktu pelaksanaan snap mor biasanya pada saat musim meti atau bulan mati saat bulan tidak purnama atau masa dimana waktu air surut lebih panjang, siang hingga malam hari. Momen ini biasanya terjadi pada bulan maret hingga agustus.
Meski begitu, tradisi snap mor ini juga bisa dilakukan pada bulan-bulan lain.Tapi biasanya air baru akan surut pada waktu malam hari, sehingga kegiatan ini baru dilaksanakan pada malam hari.
7. Ritual kematian suku asmat
Suku asmat ini adalah sebuah suku terbesar dan paling terkenal diantara sekian banyak nya suku yang mendiami tanah papua. Soal kepercayaan, kebanyakan dari masyarakat suku asmat ini menganut berbagai agama sperti katolik, kristen dan islam, selain kepercayaan animisme sebagai kepercayaan asli sebelum masuknya agama.
Meski begitu, kepercayaan nenek moyang tetap menjadi kepercayaan dasar yang mempengaruhi berbagai tradisi dan kebudayaan Suku Asmat, salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan upacara kematian.
Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Apabila seseorang mati tanpa dibunuh, mereka yakin bahwa orang tersebut mati karena sebuah sihir hitam datang membunuhnya.
Seorang bayi yang mati setelah baru saja dilahirkan, bagi mereka itu merupakan hal yang biasa. Mereka tidak terlalu merasa sedih karena percaya bahwa roh bayi tersebut memang ingin segera kembali ke alam roh. Namun sebaliknya, kematian orang dewasa dapat mendatangkan dukacita yang sangat mendalam bagi orang Asmat.
Ref:
- wikipedia.com
- Gasbanter.com
Discussion about this post